Bagian 2/3
Jadi yang bisa disimpulkan adalah taubat atas perbuatan dosa lantaran kebodohan.
Apa yang dimaksud dengan kebodohan di sini?
Setidaknya ada tiga interpretasi mengapa disebut kebodohan:
Pertama, kebodohan karena hati pelaku maksiat tidak menghadirkan atau menyadari siksa Allah akibat maksiat yang dilakukan. Sebab andaikan sadar, niscaya ia tidak akan melakukannya, ilustrasi dalam konteks ini sebagaimana dikatakan oleh Kanjeng Nabi ﷺﷺ:
لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ
“Tidaklah pezina ketika berzina dalam kondisi beriman sempurna, tidaklah orang mencuri saat mencuri dalam kondisi beriman sempurna, dan tidaklah orang meminum khamr saat ia meminumnya dalam kondisi beriman sempurna, dan taubat selalu terbuka” (Muttafaqun ‘alaih)
Hadits tersebut bisa dipahami bahwa orang yang melakukan maksiat berupa zina, mencuri, minum minuman keras (khamr), dikategorikan sebagai seseorang yang sedang dalam kondisi imannya tidak sempurna, sehingga lemah. Karena jika imannya kuat, ia tidak akan melakukan perbuatan maksiat tersebut. Dalam kaidah aqidah ahlussunnah wal jama’ah dikatakan:
اَلإِيمَانُ يَزِيدُ بِالطَّاعَةِ وَيَنْقُصُ بِالمَعْصِيَةِ
“Iman itu bertambah dengan ketaatan (amal saleh) dan berkurang dengan kemaksiatan”
Iman manusia biasa memang bersifat fluktuatif. Fluktuasi iman dipengaruhi oleh perbuatan manusia itu sendiri.
Kedua, perbuatan buruk, perbuatan dosa, atau maksiat itu sendiri sebenarnya adalah kebodohan, dan pelakunya disebut orang bodoh, karena ia melakukan kebodohan. Walaupun yang melakukan adalah orang yang berilmu (alim), punya gelar, titel, jabatan, terpandang sebagai orang yang punya pengaruh, terlihat sebagai orang yang berpendidikan, maka disebut juga orang bodoh ketika ia melakukan perbuatan dosa.
Karena jika ia konsisten memegang ilmunya atas dampak perbuatannya (akan mendapat pahala bila beramal saleh dan akan mendapat dosa dan siksa bila bermaksiat), maka ia tidak akan berani dan nekad melakukan maksiat. Sehingga bila ia tidak menerapkan ilmunya, maka ia menjadi seperti orang yang tidak berilmu. Karenanya, orang yang bermaksiat pantas dan sah disebut sebagai orang yang bodoh.
Ketiga, perbuatan buruk atau dosa itu dilakukan secara sengaja ataupun tidak sengaja, sehingga disebut kebodohan. Setiap orang yang bermaksiat, baik secara sengaja maupun tidak sengaja layak disebut orang yang bodoh sampai dia berhenti dari maksiat tersebut.
Syarat yang ketiga, jika ingin taubatnya diterima oleh Allah ﷻ adalah sebagaimana tersebut dalam ayat 17 juga:
ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ
“kemudian mereka bertaubat dalam waktu yang dekat”
Imam as- Suyuthi menjelaskan bahwa taubat itu dilakukan sebelum ajal tiba.
Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ :
مَنْ تَابَ إِلَى اللهِ قَبْلَ أَنْ يُغَرْغِرَ تَابَ اللهُ مِنْهُ
“Barang siapa bertaubat kepada Allah sebelum nyawa sampai tenggorokan, niscaya Allah terima taubatnya” (H.R. al- Hakim)
Artikel terkait:
Mengapa Orang Jahil (Bodoh) Harus Taubat? [1]
Mengapa Orang Jahil (Bodoh) Harus Taubat? [3]
(trt-3)